Knowledge Share, Social Welfare

THEORY PERSPEKTIF KEKUATAN, TERAPI NARASI, DAN TERAPI SOLUSI


Chapter 9: Strenghts, Narative and Solution Practice_Payne 2014
SUYUTI MARZUKI
Social Welfare Indonesia
suyutimarzuki@gmail.com

  1. Aliansi (alliance) Informed consents, relationship, therapeutic
    alliance, dialogic relationship
  2. Tujuan (aims) Clearly specified & positive outcomes
  3. Rangkaian tahapan tindakan
    (action sequences)
    Specified sequences of actions
  4. Praktik Kritis (critical practice) Discruption, critique of current social
    assumptions
  5. Hak (rights) Human rights, cultural respect, equality
    sustainability
    Praktik-praktik ini juga merupakan implementasi penting prinsip-prinsip
    nilai bersama aliansi dan hak-hak. Semuanya sangat fokus pada pelibatan klien
    dalam mengeksplorasi dunianya sendiri, memahami dan berpartisipasi dalam
    pengambilan keputusan serta dalam perencanaan intervensi-intervensinya. Praktik
    naratif, terutama, menekankan pentingnya memiliki pikiran yang terbuka,
    mendengarkan interpretasi-interpretasi para klien mengenai titik-titik penting
    dalam kehidupan mereka; klien dan praktisi kemudian bekerja bersama-sama untuk
    melakukan konstruksi bersama akan naratif-naratif pengganti yang secara potensial lebih memuaskan dan akan membentuk dasar bagi arah baru dalam kehidupan
    klien. Kerja sama konstruksi tersebut berarti bahwa „tahapan konstruksi bersama‟
    menjadi konsep penting yang sering digunakan.
    Tujuan terapi narasi dalam praktik pekerjaan sosial ialah membantu klien
    memahami cerita-cerita disekitar mana cerita-cerita tersebut telah
    mengorganisasikan kehidupannya dan kemudian menantang serta memperluas
    cerita tersebut, sehingga menciptakan realitas yang baru. Hal ini dapat membantu
    klien melihat lebih banyak alternatif dan jalan keluar dari suatu kebuntuan, serta
    membantu klien melihat lebih banyak aspek-aspek yang ada dalam dirinya sendiri.
    Sehingga klien memiliki kekuatan dan keterampilan menghadapi situasi atau
    masalah yang sedang ia hadapi, yang dapat dimobilisasikan untuk memerangi
    dampak masalah tersebut.
    Terdapat 3 (tiga) kesulitan yang saling berhubungan dan dikemukakan
    dalam kritik-kritik mengenai perspektif, namun lebih dulu akan dibahas 2 (dua)
    poin berikut:
    (1) Menjadi positif tidaklah cukup untuk bisa mengenali realita klien dan orang
    di sekitar mereka yang mengalami masalah-masalah yang merusak.
    (2) Peran pengendalian sosial dari banyak lembaga pekerjaan sosial serta mandat
    sosial untuk melakukan intervensi pekerjaan sosial berasal dari tuntutan-
    tuntutan agar orang-orang dapat mengelola tingkah lakunya secara tepat.
    Praktik naratif memungkinkan untuk melakukan eksplorasi penuh atas
    pengalaman-pengalaman klien serta mengembangkan perspektif-perspektif baru
    dan mengidentifikasi kebingungan-kebingungan yang ditemui dalam pengalaman-
    pengalaman hidupnya. Akan tetapi, pendekatan ini masih belum memiliki
    pedoman praktik terstruktur—meskipun memang, pendekatan ini dianggap sebagai
    salah satu pendekatan yang punya daya tarik bagi para praktisi yang bekerja
    dengan berbagai kesulitan interpersonal yang rumit.
    Poin kedua memperluas isu yang sama dengan harapan-harapan sosial para
    praktisi profesional: lembaga-lembaga pekerjaan sosial diberikan mandat melalui
    kebijakan dan hukum untuk menangani masalah sosial dan perilaku-perilaku yang
    sulit atau yang tidak pantas. Dengan berfokus pada kemungkinan-kemungkinan
    positif, mungkin akan timbul pertanyaan tentang apakah mungkin para pekerja
    sosial bisa memperoleh harapan sosial ini, yang menggunakan gagasan-gagasan
    dengan sebuah fokus positif. poin ini berhubungan dengan poin- poin kritis
    sebelumnya: pekerjaan sosial menghadapi masalah-masalah serius dalam
    kehidupan manusia yang tidak bisa diputar-putarkan hanya dengan permainan
    bahasa.
    Selanjutnya kesulitan ketiga yang timbul dari kritik-kritik perspektif ini
    adalah sebagai berikut:
    (3) Bersandar pada intervensi-intervensi linguistik dan mengubah perspektif-
    perspektif manusia mengenai masalah-masalahnya membuat pendekatan ini
    tidak cocok untuk masalah sosial yang terus-menerus dan serius, serta untuk
    lembaga yang sibuk menghadapi banyak orang dengan masalah-masalah
    yang sulit dan banyak berimplikasi kurangnya penghargaan pada masalah-
    masalah nyata yang para klien hadapi.
    Gagasan- gagasan seperti teori naratif muncul dari psikoterapi, yang tidak
    memfokuskan pada tanggung jawab sebagian besar pekerja sosial untuk
    menyediakan pelayanan. Banyak lembaga harus membuat rencana-rencana sejalan
    dengan persyaratan hukum manajemen dan kebijakan, seperti persyaratan untuk
    menciptakan program-program perawatan bagi orang dengan kondisi jangka
    panjang sehingga mereka bisa hidup dengan aman di rumah. Para praktisi yang
    sibuk dengan banyak tanggung jawab, harus menyesuaikan sumber daya yang
    jumlahnya terbatas dalam skala waktu yang singkat, sehingga tidak memiliki waktu
    untuk menggunakan sebuah pendekatan terapeutik naratif
    Para praktisi menyebut tiga poin untuk menghadapi kritik-kritik ini.
    Pertama, dengan hanya mengejar prioritas-prioritas manajemen atau layanan
    merupakan sebuah kesalahan ekonomi karena kemudian kita tidak menggali
    bagaimana para klien dan keluarganya melihat isu-isu, yang merupakan salah satu
    aset dalam teori naratif; kemudian hal ini mengarah kepada ketidakpuasan dan
    keluhan-keluhan.

    Kedua, gagal untuk fokus pada prioritas-prioritas klien. Secara etis, ini salah:
    pelayanan adalah bagi mereka dan bukan merupakan sebuah sistem pembenaran
    untuk lembaga. Secara praktis, dengan mengesampingkan prioritas-prioritas klien,
    kita mungkin gagal untuk melibatkan partisipasinya.
    Ketiga, penilaian kita bisa membuktikan ketidakpuasan karena telah gagal
    mendapat gambaran lengkap tentang situasi tersebut. Lagipula, teori naratif
    menunjukan kepada kemungkinan akan banyaknya cara-cara alternatif untuk
    menafsirkan dan mengkonstruksi berbagai situasi dan peristiwa-peristiwa yang
    mengarah kepadanya, serta kesempatan-kesempatan yang mungkin lepas darinya.
    Selain adanya kesulitan-kesulitan ini yang berhubungan dengan mandat
    pekerjaan sosial, Gray (2011) juga menyimpulkan serangkaian kritik yang
    menyatakan bahwa fokus pada kekuatan dalam seluruh teori ini tidak
    terdefinisikan dengan baik dan hanya didukung oleh anekdot dan studi kasus,
    bukan penelitian yang mendalam. Presentasi naratif dan praktik solusi memandang
    terlalu tinggi atas pengaruh praktik yang bisa kita miliki dalam lingkungan
    komunitas yang tidak menguntungkan dan terasingkan. Gray berargumentasi
    bahwa praktik ini sama saja dengan menerima perspektif individualistis neo liberal
    bahwa mekanisme bantu diri sendiri (self-help) dan dukungan sosial akan cukup
    untuk mengatasi kesulitan apapun.
    Perspektif Teori yang Lebih Luas
    Sebuah buku sumber pekerjaan sosial penting yang menjelaskan mengenai
    gagasan-gagasan ini ada di dalam perspektif kekuatan (Saleebey, 2009b) dengan
    empat prinsip utamanya:
  6. Setiap individu, keluarga, kelompok dan komunitas memiliki kekuatan.
  7. Kesulitan-kesulitan mungkin mencederai, namun di dalamnya terdapat
    sebuah kesempatan untuk tumbuh (sebuah prinsip yang kita temui di dalam
    teori krisis-lihat Bab 5, Payne).
  8. Anggaplah bahwa kita tidak mengetahui batas kemampuan tumbuh manusia
    dan seraplah aspirasinya dengan sungguh-sungguh.
  9. Orang-orang paling baik dilayani dengan cara kolaborasi.
    Sumber yang lebih luas mengenai perspektif ini adalah terapi sosial
    psikologis, berlawanan dengan psikoterapi-psikoterapi singkat yang terstruktur
    lainnya dalam Bab 5 dan 6. Penulisan sejarah dalam sosiologi dan psikologi sosial,
    seperti karya Mead (¡934), menghubungkan bagaimana manusia mengkontruksi
    identitas pribadinya ke dalam sebuah ‘diri‟ melalui interaksi antara pikirannya,
    yang mengandung pola pikir rasional dan reaksi emosionalnya, dengan dunia sosial
    eksternal yang mereka alami.
    “Praktik-praktik kekuatan, naratif dan praktik solusi semuanya
    bersandar pada dan ataua menggabung konstruksi sosial dengan pola
    pikir postmodernisme dengan psikologi sosial”
    Pekerjaan sosial telah menyadari akan adanya psikologi sosial, konstruksi sosial
    dan postmodernisme, namun itu semua hanya memiliki dampak yang kecil sampai
    dengan prespektif kekuatan, naratif dan teori solusi ditafsirkan dalam cara yang
    baru mempengaruhi orang lain, dan dampak faktor- faktor sosial seperti stigma,
    stereotip dan ideologi pada tingkah laku dalam kelompok.
    a. Psikologi sosial dalam pekerjaan sosial
    Studi psikologi sosial mempelajari bagaimana individu secara terus-menerus
    berinteraksi dalam kelompok-kelompok sosial yang mereka ikuti,
    sebagaimana halnya hubungan-hubungan di dalam dan antar kelompok,
    membantu menciptakan dan memelihara identitas sosial manusia. Hal ini
    meliputi gagasan mengenai bagaimana orang bertingkah laku sehubungan
    dengan, dan oleh karena itu mempengaruhi orang lain, dan dampak faktor-
    faktor sosial seperti stigma, stereotip dan ideologi pada tingkah laku dalam
    kelompok.
    Oleh sebab itu, psikologi sosial mempertimbangkan efek komunikasi, dan
    karenanya bahasa dan ucapan, pada interaksi sosial. „Studi komunikasi‟
    meneliti penggunaan bahasa dan simbol lainnya dalam komunikasi antara
    manusia sebagai individu, dalam kelompok dan lebih luas dalam organisasi
    dan kolektivitas sosial (Adler et al., 2011). Para pekerja sosial menggunakan
    bahasa untuk mempengaruhi para klien, yang berarti bahwa proses
    komunikasi yang mereka lakukan memberikan kekuatan kepada para klien;
    selain itu, penelitian dan studi mengenai komunikasi dapat membantu praktisi
    memahami tentang bagaimana mereka bisa menggunakan pola-pola
    komunikasi secara efektif. Thompson (201lb) menegaskan pentingnya bahasa
    sebagai sebuah aspek budaya. Dia menjelaskan bagaimana orang-orang
    menggunakan bahasa dalam komunikasi yang berisi simbol-simbol
    budayanya, dan dia juga menjelaskan mengenai komunikasi yang buruk
    antara orang yang memiliki budaya yang berbeda bisa membuat sulit
    dilaksanakannya praktik pekerjaan sosial
    Teori peran mengeksplorasi terciptanya peran sebagai proses mengkontruksi
    sebuah tempat untuk melakukan hubungan-hubungan sosial (Lyon, 1993).
    Teori peran fungsional struktural menganggap bahwa manusia menduduki
    berbagai posisi dalam struktur sosial. Tiap posisi terkait dengan suatu peran,
    dan peran merupakan serangkaian harapan atau tingkah laku yang
    dihubungkan dengan posisi ini dalam struktur sosial. Bagaimana kita melihat
    peran kita mempengaruhi kualitas kita dalam mengelola perubahan. Teori
    peran dramaturgis (Goffman, 1968) melihat peran sebagai sebuah upaya
    memenuhi harapan-harapan sosial yang melekat pada sebuah status sosial.
    Manusia mengambil tanda- tanda pada orang lain dalam interaksi sosial, dan
    kita mempengaruhi pandangan orang lain terhadap kita dengan mengelola
    informasi yang kita terima dari mereka, melalui penampilan-penampilan.
    b. Gagasan Konstruksi Sosial
    Dampak konstruksi sosial dan gagasan- gagasan postmodernisme di tahun
    1990-an memiliki peran penting dalam memperluas penggunaan ide- ide
    pekerjaan sosial dari psikologi sosial. Gagasan konstruksi sosial

    mengusulkan agar orang belajar memahami dunia di sekitar mereka, karena
    mereka mengalami budaya dan sejarah masyarakatnya dengan
    mengembangkan pemahaman serta penaisiran-penafsiran mengenai dunia
    yang mempengaruhi mereka. Oleh karena itu, pola-pola hubungan sosial
    menciptakan harapan- harapan sosial mengenai bagaimana manusia
    sebaiknya bertingkah laku dalam seting-seting sosial yang berbeda. Banyak
    praktisi menganggap teori ini menarik karena menawarkan kemungkinan
    Penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara konstruksi sosial dan
    konstruksi individual mengenai dunia. Teori konstruksi personal dari Kelly
    (1955) menyatakan bahwa tiap individu mengelola tingkah lakunya
    berdasarkan „konstruksi‟ atau gambaran situasi dalam pikiran mereka. Setiap
    orang mengkonstruksi peristiwa-peristiwa secara berbeda-beda. Oleh karena
    itu, dengan melihat dan mengubah konstruk-konstruk manusia, kita
    mungkin dapat membantu mengubah tingkah laku mereka mencapai
    perubahan-perubahan dalam tingkah laku dengan mengubah struktur sosial
    di sekitar klien, dan yang lebih penting lagi, dengan mengubah persepsi serta
    interaksi-interaksi mengenai harapan-harapan sosial.
    Secara tegas, kemudian teori konstruktivis menjelaskan bagaimana kita
    memproses realita di sekitar kita melalui persepsi, cara otak bekerja dan
    pemikiran rasional kita. Teori konstruksi psikologi sosial, di lain pihak,
    adalah bagaimana kita menggunakan bahasa dalam interaksi kita dengan
    orang lain untuk menciptakan sebuah pemahaman bersama mengenai realita.
    Tiga area teori konstruksi sosial yang penting bagi pekerjaan sosial (Payne,
    1999a):
    konstruksi sosial realita
    pembuatan klaim dalam formasi masalah- masalah sosial;
    pekerjaan sosiologis dalam kategori sosial dan perbedaan sosial
    Konstruksi sosial realita yang kita temui dalam Bab 1 menunjukkan bagaimana
    konstruksi sosial berkontribusi pada pembagian manusia ke dalam kelompok
    sosial dan masyarakat. Dalam cara ini, gagasan sosial disebarkan secara luas
    sehingga menjadi realita bagi para partisipan dalam masyarakat itu. Masalah
    sosial timbul ketika sebuah kelompok sosial berhasil membuat sebuah
    pernyataan tentang sebuah isu sosial yang problematik, terutama
    menggunakan media massa, serta membutuhkan tindakan sosial dan politik.
    Argumennya adalah bahwa masalah-masalah sosial tidak dari aslinya
    problematik; namun, status problematiknya diciptakan sendiri oleh
    „pembuatan klaim‟.
    c. Modernisme dan postmodernisme dalam pekerjaan sosial
    Pekerjaan sosial sering kali dianggap sebagai modernis sebab mewakili
    gagasan humanistik universal dan tak terbatas waktu, sehingga manusia
    dalam sebuah masyarakat yang tertata baik memiliki tanggung jawab atas
    sesamanya. Metode- metode pekerjaan sosial selalu menganggap, sekali lagi
    secara humanis, bahwa umat manusia bisa dan sebaiknya mengelola
    kehidupan mereka dengan menggunakan pikiran rasional, dan bahwa
    tindakan membantu bisa dan sebaiknya menggunakan praktik berbasis bukti
    (evidence-based practice), yang mengambil pengetahuan yang diperoleh dari
    metode ilmiah positivisme (Payne, 2011a). Hal ini kemudian menimbulkan
    anggapan bahwa dunia bisa dikenali melalui observasi dan eksperimen.
    Sebagai tambahan, pekerjaan sosial meyakini bahwa umat manusia bisa
    dipahami melalui penelitian yang bersandar pada analisis rasional yang
    didasarkan pada observasi eksternal (Brechin dan Sidell, 2000). Karena
    modernismenya, banyak teori pekerjaan sosial mencari „grand narative, yaitu
    keseluruhan perspektif yang menawarkan sebuah strategi untuk
    mengumpulkan bukti-bukti yang akhirnya akan menjelaskan kehidupan
    manusia dan pengembangan masyarakat dalam sebuah cara umum.
    Postmodernisme mematahkan pandangan bahwa dunia dan umat manusia
    dapat dipahami secara rasional melalui bukti yang dibangun ke dalam satu
    perspektif keseluruhan mengenai masyarakat manusia. Karenanya, hal itu
    mengganggu stabilitas beberapa asumsi yang telah dipegang untuk mendasari
    praktik pekerjaan sosial. Postmodernisme dan modernisme, bagaimanapun
    juga, merupakan cara-cara pemikiran alternatif yang secara ekslusif saling
    menguntungkan, karena mereka eksis secara berdampingan dan saling
    berinteraksi, dan keduanya bisa mendatangkan manfaat bagi para praktisi
    dalam melaksanakan pekerjaan sosial. Selain itu, pendekatan postmodernisme
    pada isu sosial mencerminkan realita sebuah masyarakat yang lebih kompleks
    dan bernuansa cara pandang yang lebih baik dibandingkan dengan perspektif
    tunggal, yang mungkin terlalu menyederhanakan.
    Postmodernisme terdiri dari dua elemen: serangkaian gagasan dan
    kecenderungan sosial yang menekankan pada gagasan-gagasan tersebut
    dalam hubungan sosial Postmodernisme tidak meniadakan modernisme.
    Akan tetapi, postmodernisme dianggap penting karena merancang sebuah
    oposisi atau perdebatan mengenai gagasan modernis. Gagasannya
    mengatakan, „Gagasan modernisme bukan satu-satunya cara untuk
    memandang suatu hal; – pertimbangkanlah alternatif-alternatif lain.‟ Banyak
    tren sosial postmodernisme mengatakan, „Satu karakteristik masyarakat masa
    kini adalah bahwa mereka terbuka untuk terlibat dalam pilihan- pilihan
    daripada hanya sekedar menggantungkan diri pada sebuah asumsi sosial
    tunggal‟ (Chambon dan Irving, 1994)
    Postmodernisme bersifat interpretivis (Brechin dan Sidell, 2000); hal ini
    menunjukkan dapat diubah oleh keputusan para peneliti dan praktisi untuk
    memilih peristiwa alamiah dan sosial untuk mengobservasi dan
    menginvestigasi, dan juga dibiaskan oleh cara yang mereka pilih untuk
    menginvestigasi dan mengelola isu yang mereka identifikasi.

    Gagasan Praktik dari Postmodernisme:
    Dekonstruksi dan Wacana
    Dekonstruksi dan diskursus merupakan gagasan praktik penting yang
    diambil dari postmodernisme; mereka berhubungan dengan pentingnya
    menafsirkan dan memahami berbagai jenis komunikasi dalam pekerjaan
    sosial.
    Dekonstruksi berasal dari seni dan sastra (Bertens, 1995: Bab 5). Dekonstruksi
    dimulai dari pemahaman mengenai sebuah situasi dengan cara
    membongkarnya untuk melihat elemen-elemennya dengan lebih jelas. Lebih
    daripada ini, dekonstruksi mengimplikasikan „refleksifitas diri‟. Artinya
    adalah bahwa komunikasi apapun berisi sebuah pesan yang relevan dengan
    sebuah situasi khusus, dan juga sebuah pesan atau analisis mengenai
    bagaimana komunikasi dan analisis dilaksanakan dalam seting ini, dan juga
    sebuah pesan mengenai sifat seting atau lembaga sosial di mana komunikasi
    terjadi. Memahami bagaimana komunikasi dilaksanakan serta konteks-
    konteks institusionalnya akan memungkinkan kita mengenali aspek penting
    hubungan sosial, khususnya penggunaan kekuatan antara kelompok sosial
    yang berbeda. Komunikasi penting karena dekonstruksi bekerja dengan cara
    melihat bagaimana orang terlibat dalam penggunaan bahasa.
    Sedangkan, diskursus adalah interaksi sosial, yaitu interaksi antar manusia
    dan terkadang antar berbagai kelompok manusia (Fairclough, 1992). Interaksi
    ini diungkapkan dalam bahasa yang memungkinkan manusia mampu
    membangun pemahaman bersama mengenai makna setiap bentuk tingkah
    laku dalam kelompok sosial dan masyarakat. Jadi manusia memahami apa
    arti menghadapi kematian, karena orang lain menjelaskannya kepada
    mereka, atau karena mereka melihat program liputan dalam televisi, atau
    karena mereka benar-benar mengalami hal itu terjadi kepada orang lain.
    Bahasa yang digunakan dalam setiap diskursus penting, dan mungkin juga
    meliputi tindakan, diskusi dan penulisan, karena arti ditunjukkan oleh apa
    yang orang lakukan dan apa yang mereka katakan atau tuliskan. Sebagai
    contoh, orang tua yang sedang berbicara tentang kematian kerabatnya
    seringkali diam ketika anak-anaknya memasuki ruangan; anak- anak
    mendapatkan sebuah gambaran mengenai apa yang sedang terjadi dari
    tingkah laku ini, namun mereka mungkin menafsirkan orang tua mereka
    secara tidak tepat. Anak mungkin mulai berpikir bahwa mereka harus
    disalahkan atas kematian kerabat, umpamanya terlalu ribut ketika Lemhat
    sedang sakit di rumah.
    Gagasan diskursus membolehkan kita untuk membangun interaksi tertentu
    dan mempertanyakan tentang konstruksi sosial terkait dengan hubungan
    kekuasaan yang diwakili di dalamnya. Ketika saya berbicara secara terbuka
    mengenai proses meninggal dengan seorang klien yang sedang sekarat, saya
    menunjukkan sebuah posisi dalam diskursus budaya mengenai keterbukaan.
    Klien mungkin selanjutnya berbicara dengan seorang kerabat yang tidak
    suka mengungkapkan emosi mengenai kedaan sekarat. Jika klien kemudian
    berbicara kepada orang ketiga yang tidak berhubungan dengan keluarganya,
    mereka mungkin memilih salah satu posisi—keterbukaan atau kehati-
    hatian—atau beberapa kompromi.
    Bourdieu (1977) menegaskan pentingnya modal yang dipegang oleh individu
    dan kelompok dalam bidang keterampilan mereka (Smith, 2001: 137-9). Ini
    memberikan mereka kekuatan—kapasitas untuk mempengaruhi lapangan di
    mana mereka terlibat. sosial. Modal sosial merupakan kekuatan yang kita
    peroleh dengan cara memiliki jaringan hubungan yang luas dan mendukung.
    Modal ekonomi merupakan akumulasi sumber daya yang memberikan
    manusia dan kelompok suatu kekuatan finansial untuk mempunyai
    pengaruh. Modal budaya merupakan kapasitas untuk memahami dan
    menafsirkan dunia di sekitar kita dalam cara yang kompleks. Manusia
    memiliki pengaruh jika mereka memiliki gagasan yang aman dan mudah
    dipahami mengenai cara menafsirkan dunia, seperti yang ditawarkan oleh
    integrasi dalam sebuah profesi seperti pekerjaan. Ilmu pengetahuan sosial
    sering kali berfokus pada modal ekonomi, namun postmodernisme
    menyarankan bahwa modal budaya dan sosial untuk seseorang bisa sama
    pentingnya dengan memberikan kesempatan untuk memperoleh kekuasaan
    atas lingkungannya.
    Keterkaitan
    Perspektif yang berfokus pada kekuatan, naratif dan solusi dalam pekerjaan
    sosial menciptakan hubungan penting antara model praktik psikologis teraputik
    dan teori konstruksi sosial postmodernisme, yang kemudian terkait dan telah
    mempengaruhi gagasan kritis dan feminisme. Mereka mempertahankan tren dalam
    psikologi dan psikoterapi terkini, sebagaimana halnya dalam prinsip nilai pekerjaan
    sosial (lihat tabel Shared Values), untuk mendefinisikan dan dipakai dalam
    beberapa prilaku khusus; bagaimanapun juga, mereka mengubah fokus dalam CBT
    dan praktik berbasis tugas (task-centered practice), dari mencari prilaku bermasalah
    ke arah mencari prilaku spesifik di masa depan. Sebagai hasilnya, orang yang
    menyukai spesifikasi CBT sering kali tetap nyaman dengan praktik yang berfokus
    pada naratif, solusi dan kekuatan, meskipun memasukkan teknik yang lebih
    fleksibel dan interprétatif. Sebagian alasannya adalah bahwa penelitian mengenai
    praktik berfokus solusi berasal dari sebuah penelitian psikologis, yang melihat
    keberhasilan model dalam mencapai perubahan tingkah laku individu. Alasan lain
    adalah bahwa gagasan-gagasan yang lebih interprétatif namun tetap menghargai
    pemikiran CBT dapat dijadikan penambahan yang bermanfaat untuk pilihan-
    pilihan praktik yang ada dalam CBT.
    Dengan memasukkan gagasan konstruksi sosial, gagasan kekuatan, naratif
    dan solusi menawarkan sebuah dimensi praktik penting bagi teori kritis dan feminis
    karena menawarkan teknik praktik spesifik yang bisa digunakan dalam metode
    dialog yang lebih setara yang digunakan dalam bentuk-bentuk praktik ini.

    Politik Praktik Naratif, Solusi dan Kekuatan
    Payne merangkum analisis Myer (2008: Bab 3) mengenai perbedaan antara
    teori-teori pekerjaan sosial berfokus solusi dan tradisional

    https://www.academia.edu/29322123/TEORI_KESEJAHTERAAN_SOSIAL_SOCIAL_WELFARE_THEORY?email_work_card=title
    Isu Nilai
    Payne menyatakan bahwa terdapat dua isu nilai pada para praktisi. Pertama,
    dalam peran tatanan sosialnya, profesi pekerjaan sosial diharapkan memperkuat
    harapan-harapan moral yang dapat diterima klien (Payne, 1999b). Isu kedua adalah
    bahwa respon moral terhadap hal ini mungkin berupa penolakan untuk
    menyalahkan orang ketika mereka tidak memiliki tanggung jawab serta bertindak
    untuk memperbaiki situasi.
    Beberapa penulis menyatakan bahwa karena itu pemikiran postmodernisme
    mewajibkan relativisme moral dan politik, yang berargumentasi bahwa tidak ada
    sesuatu yang bisa diketahui atau akhirnya disetujui. Namun itu tidak benar:
    postmodernisme meminta kita mencari dan menguji cara-cara alternatif dari melihat
    apa yang kita pikir kita tahu dan apa yang kita harapkan. Melihat berbagai
    kemungkinan alternatif membuat kita menguji seberapa lengkap pemahaman kita.
    Selain itu, di mana kita menemukan penjelasan-penjelasan alternatif, disitulah kita
    diundang untuk mencari pemahaman yang lebih lengkap yang mengijinkan kita
    melihat bagaimana beberapa alternatif itu mungkin benar (Fawcett, 2009)
    Dibandingkan menolak tatanan dan struktur sosial postmodernisme
    menerimn bahwa tatanan sosial adalah sesuatu yang dianggap penting dan
    diperlukan, namun pendekatan ini juga meminta agar kita lebih memahami
    kompleksitas dan implikasi dari tatanan dan struktur sosial yang ada ini, serta
    berbagai kemungkinan alternatifnya. Para pekerja sosial perlu meneliti posisi-posisi
    berbeda mengenai tatanan sosial yang ada serta mengerti bahwa tatanan sosial
    berubah untuk membantu para klien mereka dalam menghadapi kompleksitas
    situasi dengan berbagai sikap saling bertentangan yang harus dicari solusinya. Jadi,
    penting bagi para pekerja sosial untuk mengeksplorasi perdebatan dan diskursus
    mengenai isu-isu penting dalam masyarakat, contohnya peran keluarga.
    Pengamatan, terhadap perdebatan-perdebatan ini memungkinkan para praktisi
    untuk dapat memahami siapa yang memiliki kekuasaan dan pengaruh dalam
    diskursus itu, baik pada masyarakat maupun individu-individu dan anggota
    keluarga yang sedang ditangani
    Kesimpulan
    Gagasan tentang kekuatan, naratif dan solusi membentuk sebuah perspektif
    yang khas dalam praktik, serta mengajukan beberapa teknik spesifik. Semua itu
    telah digunakan pada semua jenis klien yang pernah ditangani para praktisi; selain
    itu, juga telah ada penelitian-penelitian mengenai praktik berfokus solusi dan
    kekuatan-kekuatan yang digunakan dalam manajemen pelayanan. Meskipun
    demikian, terdapat beberapa kritik mengenai hal ini yang dianggap terlalu optimis
    dalam mengharapkan model-model psikologis tersebut bisa berdampak di mana
    terjadi kesulitan-kesulitan yang sangat parah dan pengucilan sosial dalam
    masyarakat sekitar.
    Perspektif-perspektif ini membutuhkan sebuah fokus pada apa yang
    didambakan klien sebagai hasil-hasil positif yang ingin dicapai. Oleh karena itu,
    pendekatan ini sangat terkait dengan prinsip nilai-nilai dalam Gambar i.7 dan juga
    penelitian dan aspirasi dalam pekerjaan sosial yang menegaskan mengenai
    pentingnya klien untuk mampu memegang kendali atas hasil-hasil yang ingin
    mereka capai. Praktisi diwajibkan agar dapat memelihara fokus pelayannya pada
    hal-hal yang bersifat positif dan yang didambakan klien, daripada mencari-cari
    permasalahan dan kekurangan klien.
    Dalam hal ini ini, perspektif tersebut lebih menyerupai model-model
    disabilitas sosial dan kewarganegaraan, daripada model yang berfokus pada
    pemecahan masalah. Karena semua ini diambil dari teori konstruksi sosial
    postmodernisme, perspektif-perspektif ini menerima bahwa manusia bisa berubah
    jika pemahaman mereka mengenai pengalaman sosial berubah. Terdapat sebuah
    kritik mengenai perspektif ini yang dianggap tidak mengakui adanya tanggung
    jawab pekerjaan sosial untuk memelihara tatanan sosial dan mencapai tujuan-
    tujuan sosial yang dimandatkan, seperti mengubah tingkah laku kriminal atau
    mengeluarkan pasien tidak mampu dari rumah sakit mahal dan mencari fasilitas
    masyarakat yang lebih ekonomis.
    Meskipun, pekerjaan sosial bertujuan untuk mencapai tujuan sosial ini
    melalui sebuah praktik yang menghormati tujuan-tujuan para klien dan mengakui
    perlunya melibatkan manusia dalam menciptakan perubahan bagi mereka sendiri
    dan memasukkan tujuan mereka dalam hasil-hasil sosial yang lebih luas.
    Menghabiskan lebih banyak waktu dalam mengelola pekerjaan untuk melibatkan
    para klien secara baik dan penuh hormat akan memungkinkan mereka memakai
    kekuatan-kekuatannya, daripada hanya sekedar menghibur mereka karena harus
    mengejar target-target pelayanan. Sehubungan dengan itu, maka gambaran-
    gambaran praktik penting dalam perspektif ini, meliputi:

    Mengambil dari naratif orang itu sendiri untuk memasukkan pemahamannya
    mengenai kehidupan mereka serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam
    praktik;
    Mempertahankan sebuah fokus positif pada hasil-hasil yang diinginkan;
    Menggunakan teknik-teknik yang memelihara tujuan-tujuan positif dan
    diinginkan para klien;
    Bekerja mengidentifikasi kekuatan-kekuatan personal dan memampukan
    relung-relung sosial dalam kehidupan para klien;
    Mengidentifikasi pengecualian-pengecualian positif untuk pola-pola
    kehidupan yang orang mampu perkuat untuk mengembangkan kekuatan-
    kekuatan mereka;
    Memacu klien untuk menciptakan solusi sendiri dengan meminta mereka
    mengamati keberhasilan-keberhasilan dalam kehidupannya;
    Memelihara dorongan dengan bekerja secara aktif bersama klien dalam
    setiap sesi untuk mengidentifikasi solusi-solusi serta kekuatan, dan
    merancang tugas-tugas yang diarahkan pada tujuan-tujuan bermanfaat yang
    diharapkan.
    REFERENCES
    Payne, Malcom (2014). Modern Social Work Theory. 4th Edition. Chicago: Lyceum
    Books, Inc.
    Roberts, Albert R dan Gilbert J. Greene (2009). Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 1.
    Jakarta: Gunung Mulia.

Leave a comment